Industry Report

Industri Petrokimia di Indonesia 2023

INDUSTRI POLYPROPYLENE

Industri polypropylene (PP) sebagai bahan baku plastik secara umum masih prospektif, mengingat kebutuhan dunia akan produk plastik terus meningkat dari tahun ke tahun. Namun di sisi lain, beberapa negara besar telah melakukan kampanye pengurangan terhadap konsumsi kantong plastik.

Saat ini pasar bahan baku plastik PP sngat kompetitif karena produk PP hanya memiliki sedikit perbedaan dengan produk polyethylene (PE) yang digunakan oleh industri pemakainya. Oleh karena itu, biaya produksi yang rendah  merupakan hal yang sangat penting dalam merebut pasar. Produsen PP juga memiliki pesaing dari pasar internasional. Dalam dua tahun terakhir, impor PP Indonesia meningkat dari 795 ribu ton pada tahun 2021 menjadi 919 ribu ton pada tahun 2022 atau naik sekitar 15,5% dalam volume.

Di sisi lain, bisnis PP di dalam negeri memiliki prospek yang cukup cerah, mengingat produsen PP di dalam negeri masih sedikit. Selain itu, tingkat konsumsi PP per kapita Indonesia masih tergolong rendah. Sehingga permintaan terhadap produk ini masih tinggi baik di pasar dalam maupun luar negeri, sejalan dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia dan juga di kawasan dunia lainnya, khususnya Asia Pasifik.

Proyeksi Konsumsi PP

Industri pemakai terbesar PP adalah industri plastik film dan karung plastik (plastic woven bag) dan komponenen otomotif. Selain itu, PP juga digunakan sebagai bahan baku  pada beberapa industri plastik seperti pembuatan kemasan plastik, film/laminating, peralatan rumah tangga dan kontainer untuk makanan dan minuman.

Dalam tahun-tahun mendatang, sejalan dengan pertumbuhan, konsumsi PP diproyeksikan akan terus meningkat. Konsumsi plastik perkapita Indonesia meningkat dari 19,8 kg/orang/tahun pada 2017 menjadi 22,5 kg/orang/tahun pada 2022. Jauh di bawah konsumsi Asia Tenggara yaitu sejumlah 17 kg per kapita dan pasar maju seperti Amerika Serikat yang mengkonsumsi 60 kg per kapita, Eropa Tengah/Barat yang konsumsinya 45 kg per kapita dan Tiongkok yang mengkonsumsi 33 kg per kapita pada periode 2016.

Selama tahun 2023 – 2024, konsumsi PP diproyeksikan akan meningkat rata-rata sekitar 10% per tahun dari 1,80 juta ton pada tahun 2023 menjadi 1,98 juta ton pada tahun 2024. Selanjutnya pada periode tahun 2024 - 2025 diproyeksikan naik rata- rata 15% per tahun. Atas dasar itu, selama tahun 2023 – 2027, konsumsi PP diproyeksikan meningkat dari 1,80 juta ton pada tahun 2023 menjadi 4,34 juta ton pada tahun 2027.

Odoo image and text block

PT Chandra Asri Petrochemical Tbk

Hingga kini terdapat tiga produsen PP yang beroperasi di Indonesia. Chandra Asri Petrochemical merupakan produsen PP terbesar di Indonesia yang mulai beroperasi tahun 1992 dan berlokasi di Cilegon, Banten. Dalam kegiatan proses produksinya, CAP menerapkan teknologi proses dari UNIPOL dan dikembangnkan Union Carbide Corporation (UCC), serta Shell Chemical Company yang memiliki 2 train PP dengan kapasitas produksi 200.000 ton per tahun.

Pada tahun 1995, train ketiga mulai beroperasi, sehingga total kapasitas produksi dari ketiga train yang dioperasikan TPI mencapai 360.000 - 380.000 ton per tahum. Kemudian setelah merealisasikan proyek de-bottlenecking yang sempat tertunda karena krisi, kini kapasitas produksi CAP menngkat dari 360.000 ton menjadi 480.000 ton per tahun. Proyek yang menyerap investasi senilai US$ 30 juta ini selesai pada April 2011.

Kemudian pada 2019 CAP meningkatkan kapasitas produksi dari 480.000 ton per thaun menjadi 590.000 ton per tahun.

Plant PP yang dioperasikan CAP ini memiliki fasilitas dermaga yang berlokasi di lingkungan plant yang mampu menampung secara bersamaa dua kapal bermuatan cair dengan bobot mati 80.000 ton. Bahan baku ditampung dalam tangki propylene bertekanan tinggi dan bertekanan rendah. Sedangkan gudang barang jadi terletak di kawasan pabrik dan di Surabaya, Jawa Timur.


PT Polytama Propindo

PT Polytama Propindo yang beroperasi di Balongan, Indramayu, Jawa Barat berdampingan dengan kilang Exor I milik Pertamina yang memasok kebutuhan bahan baku propylene - mulai berproduksi pada pertengahan tahun 1995 merupakan produsen kedua terbesar setelah TPI. Pada tahun 1996, kapasitas produksi PT Polytama Propindo dioptimalkan menjadi 180.000 ton per tahun melalui de-bottlenecking dari semula 100.000 ton per tahun. Kemudian pada April 2004, kapasitas produksinya kembali ditingkatkan menjadi 200.000 ton per tahun atau naik sekitar 11% dari kapasitas semula yang sebesar 180.000 ton/tahun. Dan pada tahun 2005, kapasitas produksi kembali ditingkatkan menjadi 240.000 ton/tahun.

Produksi PT Polytama menggunakan merek Masplene merupakan resin polipropilena (PP) berkualitas tinggi yang diproduksi menggunakan salah satu teknologi proses terbaik di dunia yaitu Spheripol dari LyondellBasell.

Perusahaan dengan status PMA yang memperoleh ijin dari BPKM pada tahun 1992, semula merupakan usaha patungan antara PT Tirtamas Majutama (80%) yang sebagian besar sahamnya dikuasai Hashim Suyono Djoyohadikusumo dengan Sojitz Corp. (semula Nissho Iwai Corp.), Jepang (10%) dan BP CChemical Co. Inggris (10%). Setelah melakukan restrukturisasi ke BPPN yang kini menjadi Perusahaan Pengelolaan Aset (PPA), per 31 Maret 2005, kepemilikan saham PT Polytama Propindo berubah, masing-masing dipegang oleh PT Tuban Petrochemical Industries (80%) dan selebihnya dikuasai Pasio Investments B.V. (20%).

Odoo text and image block
Odoo image and text block

PT Kilang Pertamina Internasional

PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) sebelumnya bernama Pertamina Refinery Unit III di Plaju, Sumatera Selatan. Plant di Plaju yang beroperasi mulai tahun 1974 ini sempat terhenti  produksinya dan kembali  beroperasi pada tahun 1980. Melalui proyek "debottlenecking", tahun 1993 Plant Pertamina Plaju ditingkatkan kapasitas produksinya dari 10.000 ton per tahun menjadi 45.000 ton per tahun. Kilang ini beroperasi dalam 7.944 jam operasi, dan menghasilkan hampir 6 ton/jam homopolymer pp berbentuk pellet.

KPI didirikan pada 2017 sebagai strategic holding company PT Pertamina (Persero) untuk menjalankan, mengendalikan, dan mengelola kegiatan investasi dan usaha terkait megaproyek pengolahan petrokimia. Pemegang saham KPI  adalah PT Pertamina (Persero) sebesar 99,9985% dan PT Pertamina Pedeve sebesar 0,0015%.

Pada Juni 2020, KPI meluaskan perannya selain mengelola proyek-proyek infrastruktur juga pengembangan bisnis pengolahan dan petrokimia serta mengelola kilang-kilang pengolahan dan petrokimia yang sebelumnya dikelola oleh PT Pertamina (Persero) yaitu Refinery Unit II Dumai, Refinery Unit III Plaju, Refinery Unit IV Cilacap, Refinery Unit V Balikpapan, Refinery Unit VO Balongan dan Refinery Unit VII Sorong. Perubahan peran tersebut ditandai dengan pengukuhan PT KPI sebagai  subholding Refining & Petrochemical sebagai bagian dari pembentukan Holding Migas.

Sementara itu inovasi yang dilakukan di Kilang KPI di Plaju, saat ini terdapat robotic bagging yang membantu proses pengemasan, di mana produk Polytam dikemas dengan kapasitas 25 kg dan didistribusikan ke unit pemasaran di seluruh Indonesia seperti Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang dan Surabaya.

Industri Polyethylene

Industri petrokimia Indonesia merupakan tulang punggung dari berbagai industri hilir, seperti Industri makanan dan minuman, otomotif, transportasi, ban, kabel dan sebagainya. Sebagai bagian dari industri petrokimia, industri Polyethylene (PE) saat ini semakin berkembang pesat. Sebagai komoditi perdagangan, pasar bahan baku plastik PE di dalam negeri menghadapi persaingan dengan produk PE asal impor dan industri sejenis di kawasan ASEAN seperti Thailand, Singapura, dan Malaysia. Selain itu, harga PE juga dipengaruhi oleh fluktuasi harga minyak mentah dan harga bahan baku naphtha.

Hingga kini terdapat dua produsen PE yang beroperasi di Indonesia yaitu Chandra Asri Petrochemical (CAP) yang terintegrasi dengan plant ethylene dan PT Lotte Chemical Titan Nusantara (LCTN)

Kecenderungan meningkatnya permintaan PE di dalam negeri, sementara kapasitas produksi dari dua produsen PE yaitu 1.186.000 ton per tahun, masing-masing CAP sebesar  736.000 ton/tehun  dan Lotte Chemical Titan Nusantara (LCTN) sebesar 450.000 ton/tahunm maka diperkirakan pasar PE di dalam negeri masih akan dipenuhi pasok impor. Di tengah perlambatan ekonomi pada tahun 2022 lalu, tingkat konsumsi di dalam negeri mencapai 1,74 juta ton dengan pertumbuhan rata-rata 2,5% per tahun dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Dengan demikian, masih terbuka peluang bagi investor baru di industri PE untuk menggarap pasar PE yang cukup besar.

Proyeksi Konsumsi PE

Industri pemakai terbesar PE adalah industri container dan botol plastik yang digunakan untuk bahan-bahan kimia, lubricants dan non-food products. Selain itu, PE juga digunakan sebagai bahan baku pada industri plastik, seperti pembuatan kemasan plastik, film/laminating, peralatan rumah tangga dan container untuk makanan dan minuman.

Dalam tahun-tahun mendatang, sejalan dengan pemulihan ekonomi, konsumsi PE diproyeksikan masih akan terus meningkat, mengingat tingkat per kapita konsumsi plastik di Indonesia masih tergolong rendah yaitu sekitar 11 kg per kapita per tahun dibandingkan konsumsi PE di kawasan Asia yang sebesar 40 kg per kapita.

Berdasarkan hal itu, selama tahun 2023-2024, konsumsi PE diproyeksikan akan meningkat rata-rata sekitar 5% per tahun yaitu dari 1,83 juta ton pada 2023 menjadi 1,92 juta ton pada 2024. Dan selama tahun 2025-2027, diproyeksikan naik rata-rata 10%-15% per tahun, dari 2,11 juta ton pada 2025 menjadi 2,67 juta ton pada 2027.

Dengan pertumbuhan konsumsi yang diproyeksikan rata-rata meningkat 5%-10% per tahun selama 2023-2027, maka suplai PE dibayangi kekurangan pasokan yang terus membesar dari sekitar 842 ribu ton pada tahun 2027. Hal ini merupakan peluang bagi investor baru untuk memasuki industri PE. Akibat dari kurangnya pasokan produk PE dalam negeri, Indonesia mengimpor produk PE dari berbagai negara, seperti negara Asean dan Korea.

Secara keseluruhan, dengan shortage yang cenderung membesar, diproyeksikan sampai tahun 2027, Inodnesia masih merupakan negara net import bahan baku plastik PE, karena permintaan (demand) masih jauh lebih tinggi dari penawaran (supply) dan produksi di dalam negeri.


Odoo text and image block
Odoo image and text block

Barito Pacific Group

Perusahaan yang awalnya berdiri dengan nama PT Bumi Raya Pura Mas Kalimantan di tahun 1979 kemudian beralih nama menjadi PT Barito Pacific Timber di tahun 2007 ini sebelumnya bergerak di bidang kehutanan dan perkayuan, mengelola Hutan Tanaman Industri di Kalimantan. Karena di periode pertengahan tahun 2000an, bisnis kayu merosot tajam dan PT Barito Pacific Tbk mengalihkan core business pada industri petrokimia, energi dan properti. Sejalan dengan itu nama perusahaan berubah menjadi PT Barito Pacific Tbk untuk merefleksikan diversifikasi lini usaha Barito Pacific saat ini dan juga pertumbuhannya di masa mendatang. Perseroan menjadi pemegang saham mayoritas di PT Chandra Asri, satu-satunya produsen di Indonesia dengan kepemilikan saham sebesar 70%. Kemudian pada 2008 perseroan mengakuisisi PT Polyta Indonesia Tbk, sebuah perusahaan polypropylene terkemuka di Indonesia. Kedua entitas anak ini kemudian digabungkan menjadi PT Chandra Asri Petrochemical Tbk pada tahun 2011. Akuisisi ini menjadikan Chandra Asri sebagai produsen petrokimia terbesar yang terintegrasi di Indonesia.

Saat in Barito Pacific Group (BPG) melalui bisnis petrokimia mengoperasikan pabrik naphta cracker yang terbesar dan terintegrasi, satu-satunya di Indonesia. Bisnis petrokimianya memproduksi beragam palet Olefin, Polyolefins, Styrene Monomer, dan Butadiene termasuk produk turunannya.