Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan selama lima bulan berturut-turut mulai dari bulan Mei 2024, ekonomi Indonesia mengalami deflasi sebesar 0,03% pada bulan Mei 2024, turun menjadi 0,08% pada bulan Juni, 0,18% pada bulan Juli, 0,03% bulan Agustus, dan 0,12% pada bulan September.
Deflasi selama lima bulan terkahir yang terjadi tahun ini berbeda dari kondisi deflasi biasanya. Kondisi deflasi saat ini lebih banyak dipengaruhi oleh faktor domestik Indonesia. Sebelumnya Indonesia mengalami deflasi berbulan-bulan pada 2008-2009 yang diakibatkan krisis global. Demikian juga deflasi pada masa pandemi Covid-19 akibat kelesuan ekonomi dunia yang dialami oleh hampir seluruh negara yang terpapar Covid-19. Deflasi yang dialami kali ini menyebabkan permintaan barang-jasa melemah. Sedangkan faktor deflasi yang dialami Indonesia kali ini banyak disebabkan oleh kebijakan Pemerintah yang kurang tepat yang telah menimbulkan melemahnya daya beli masyarakat, seperti kenaikan harga bahan bakar Pertalite, aturan yang melemahkan industri, dan kurangnya investasi.
Deflasi yang terjadi bisa membuat pelaku usaha terutama industri makanan-minuman, tekstil pakaian jadi, alas kaki, dan pelaku usaha properti perlu mengubah bisnisnya. Deflasi yang dialami Indonesia selama lima bulan bahkan dapat berujung pada resese ekonomi jika tidak dicegah.
Kondisi deflasi di Indonesia terjadi bukan akibat dari kesuksesan Pemerintah dalam mengendalikan inflasi, namun deflasi manandakan kondisi masyarakat yang menahan diri untuk tidak belanja karena sudah berkurang porsinya. Masyarakat kehabisan uang karena situasi perekonomian Indonesia saat ini memburuk. Keadaan ini dikarenakan beberapa hal seperti kenaikan upah pekerja terlalu kecil, efek suku bunga tinggi, serta lapangan pekerjaan terbatas di sektor formal. Selain itu, Indonesia juga mengalami banyak PHK Massal. Peningkatan tarif PPN 11 persen juga ditengarai menimbulkan efek deflasi.
Per 1 Oktober 2024, Kementerian Ketenagakerjaan mencatat sebanyak 53.993 tenaga kerja terkena pemutusan hubungan kerja. Gelombang PHK yang membesar ini sudah pasti menurunkan pendapatan kelas pekerja. Imbasnya mereka akan lebih berhemat mengeluarkan uang hanya untuk kebutuhan prioritas, mengurangi belanja, karena khawatir situasi ekonomi memburuk. Bagi negara berkembang dan sedang berada pada fase bonus demografi seperti Indonesia, kondisi deflasi beruntun adlaah sebuah anomali. Penduduk usia produktifnya membesar, tapi sisi permintaan lemah.
Ketika inflasi selalu menjadi momok baik Pemerintah, dunia usaha maupun masyarakat, deflasi merupakan kabar baik. Namun deflasi berturut-turut yang sedang kita alami selama 5 bulan ini membawa sinyal buruk bagi perekonomian negara.
Industri pengolahan tembakau termasuk di dalamnya industri rokok memiliki peran penting dalam menggerakkan ekonomi naional, karena mempunyai efek berganda yang luas. Industri Rokok di dalam negeri telah meningkatkan nilai tambah bahan baku lokal berupa hasil perkebunan seperti tembakau dan cengkeh. Sektor padat karya dan berorientasi ekspor ini menjadi kontributor pendapatan negara yang cukup signifikan melalui cukai.
PT Gudang Garam
Gudang Garam adalah produsen rokok kretek yang identik dengan Indonesia yang merupakan salah satu sentra utama perdagangan rempah dunia. Pada akhir 2023 produk Gudang Garam menguasai pangsa pasar rokok di Indonesia sebesar 23,1% menurut sumber Nielsen. Sepanjang 2023 tercatat sebesar 59,74% miliar batang di antaranya adalah produk Gudang Garam di pasar domestik. Gudang Garam memegang merek Gudang Garam, GG, dan Surya.
Pada tahun 2023, total pekerja Gudang Garam mencapai 28.337 orang yang meliputi produksi rokok, pemasaran dan distribusi. Secara tidak langsung juga mendukung penciptaan lapangan kerja bagi kurang lebih 4 juta orang yang terdiri dari petani tembakau dan cengkeh, pengecer dan pedagang asongan yang tersebar di Indonesia. Fasilitas produksi rokok kretek milik Gudang Garam terletak di Kediri yang merupakan pusat perdagangan regional sekaligus lokasi kantor pusat, dan di Gempol.
Sepanjang 2023 Gudang Garam meraih kenaikan laba 91,55% menjadi Rp 5,32 triliun dari Rp 2,78 triliun pada 2022. Meski dari sisi pendapatan mengalami penurunan 4,60% menjadi Rp 118,95 triliun pada 2023 dari Rp 124,68% triliun pada 2022.
PT Hanjaya Mandala Sampoerna
HMS memproduksi seluruh produk rokoknya di Indonesia dan mengoperasikan tujuh fasilitas produksi di Indonesia. Dua unit pabrik untuk rokok kretek buatan mesin di Pasuruan dan Karawang, satu unit pabrik produk tembakau inovatif bebas asap (SFP) di Karawang, empat unit pabrik untuk rokok sigaret kretek lintingan tangan di Probolinggo, Malang, dan Surabaya. Pabrik produk bebas asap merupakan investasi terbaru Sampoerna, dengan fokus memasok pasar domestik dan ekspor di kawasan Asia Pasifik, dengan merek Heets untuk IQOS sebagai yang pertama bagi Philip Morris International di Asia Tenggara dan yang ketujuh di dunia.
HMS memproduksi rokok dengan merek Sampoerna Kretek, Dji Sam Soe Magnum, Dji Sam Soe SUper Premium, Panamas Kuning, A Mild, U Mild, Sampoerna A, Marlboro Mix 9, Marlboro Filter Black, Dji Sam Soe Filter, Marlboro Crafted, Marlboro Crafted Origin dan mendistribusikan rokok bermerek marlboro di seluruh Indoinesia, melalui perjanjian distribusi jangka panjang dengan Philip Morris Indonesia.
Selama 2019-2023, penjualan rokok HMS berfluktuasi dari 98,5 miliar batang pada 2019 menjadi 83,4 miliar batang pada 2023, meraih 28,6% pangsa pasar. Untuk penjualan, HMS sedikitnya memiliki tenaga ppenjualan dengan lebih dari 3.600 karyawan. Pada 2023 PT HM Sampoerna Tbk (HMSP) meraih perolehan laba Rp8,1 triliun pada 2023, naik 28,04% dari laba yang tercata pada 2022 sebesar Rp 6,32 triliun. Penjualan perseroan apda 2023 tercatat sebesar Rp115,98 triliun atau naik 4,29% dari Rp 111,21 triliun yang dicatatkan pada 2022.
Bentoel Group
Bentoel Group menjadi perusahaan tembakau terbesar keempat di Indonesia. Merek rokok yang diproduksi antara lain Tali Jagat, Bintang Buana, Sejati, Neo Mild, dan Uno Mild. Saat ini Bentoel Group menjadi bagian dari British American Tobacco yang memungkinkan Bentoel untuk menambahkan Lucky Strike dan Dunhill ke dalam portofolionya. Pada 2023 Bentoel juga meluncurkan rokok merek Vuse, merek vape nomor 1 di dunia dan telah berekspansi ke lebih dari 25 negara. Kegiatan usaha kelas dunia Bentoel meliputi riset dan pengembangan, pemrosesan daun tembakau dan cengkeh, manufaktur produk tembakau, termasuk pemasaran dan distribusinya. Pelaksanaan kegiatan-kegiatan ini didukung sekitar 6.000 karyawan di seluruh Indonesia.
PT Wismilak Inti Makmur
Wismilak Inti Makmur merupakan perusahaan induk PT Gelora Djaja dan PT Gawih Jaya yang menjalankan kegiatan produksi filter rokok dan lembar OPP yang dijual kepada PT Gelora Djaja dan perusahaan lainnya. PT. Gelora Djaja memproduksi merek rokok premium dengan merek Wismilak dan Galan. Selain itu, Gelora Djaja juga memproduksi Wismilak Premium Cigars sejak tahun 2000 dalam beberapa jenis. Sedangkan PT Gawih Jaya menjalankan distribusi untuk produk yang diproduksi oleh PT Gelora Djaja kepada wholesalers dan retailers.
Produk Wismilak antara lain Galan Kretek, Wismilak Spesial, Wismilak Slim, Wismilak Satya, Galan Prima, dan Wismilak ARJA, Wismilak Diplomat, Diplomat Mild dan Diplomat Mild Menthol dan Diplomat evo.
Wismilak meraih penjualan bersih Perseroan tercatat sebesar Rp 4,9 triliun pada 2023, meningkat 31,6% dari periode yang sama di tahun sebelumnya, yakni sebesra Rp 3,7 triliun. Total laba bersih tahun 2023 sebesar 494,7 miliar, mengalami kenaikan 98,2% dari tahun 2022 yang sebesar Rp249,7 miliar.
PERKEMBANGAN INDUSTRI ROKOK DI INDONESIA TAHUN 2024
Industri pengolahan tembakau termasuk di dalamnya industri rokok memiliki peran penting dalam menggerakkan ekonomi nasional, karena mempunyai efek berganda yang luas. Industri rokok di dalam negeri telah meningkatkan nilai tambah dari bahan baku lokal berupa hasil perkebunan seperti tembakau dan cengkeh. Sektor padat karya dan berorientasi ekspor ini menjadi kontributor pendapatan negara yang cukup signifikan melalui cukai.
PERSAINGAN INDUSTRI ROKOK
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 146 Tahun 2017 tentang Tarif Cukai Tembakau dinilai menyebabkan persaingan industri hasil tembakau (IHT) menjadi tidak sehat. Karena aturan tersebut membuat terjadinya merger dan akuisisi antar industri tembakau. Pada kebijakan PMK Nomor 146/2017 terdapat tahapan penyederhanaan melalui penggabungan struktur (simplifikasi tersebut dilakukan untuk golongan sigaret kretek mesin (SKM), sigaret kretek tangan (SKT) dan sigaret putih mesin (SPM). Dengan simplifikasi tersebut maka struktur CHT hanya sebanyak lima layer pada 2021 dan 12 layer pada 2017. Hal itu akan merugikan IHT skala menengah kecil karena tarif CHT semakin besar. Industri hasil tembakau skala menengah kecil mengalami kerugian karena tarif cukai hasil tembakau menjadi semakin besar.
PERKEMBANGAN JUMLAH PABRIK DAN PRODUKSI ROKOK
Indonesia merupakan negara ke-tiga setelah Tiongkok dan India yang memiliki tingkat konsumsi rokok yang tinggi. Sehingga hal itu mendorong industri rokok di Indonesia semakin berkembang pesat. Di sisi lain, kebijakan yang menentang konsumsi rokok namun terbantahkan karena dilematis terhadap keuntungan yang diperoleh. Ditambah lagi, Indonesia merupakan satu-satunya negara di kawasan Asia Pasifik yang masih belum merativikasi Konvensi Kerangka Kerja untuk Pengendalian Tembakau atau Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang dicanangkan organisasi kesehatan dunia WHO sejak tahun 2003.
Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia mencatat, terdapat penurunan jumlah pabrik rokok yang berproduksi. Di Indonesia, pabrik rokok yang memiliki izin sebanyak 600 pabrik, namun hanya sekitar 100 pabrik yang aktif berproduksi. Pabrik rokok yang aktif terutama pabrik besar seperti Gudang Garam, HM Sampoerna, Djarum, Wismilak Inti Makmur, Bentoel Grup dan Nojorono Internasional, yang didukung finansial dan produksi yang besar.
PENJUALAN ROKOK
Terdapat dua jenis utama penjualan rokok di Indonesia yaitu kretek, yang merupakan rokok dengan tradisional Indonesia, mengandung campura tembakau, cengkeh dab rasa lainnya dan non-kretek, yang juga dikenal sebagai rokok putih. Sampai saat ini rokok kretek mendominasi pasar Indonesia.
Selama 2019-2023, penjualan rokok terus mengalami peningkatan rata-rata per tahun 4,9%. Namun pada 2023 lalu penjualan merosot dibandingkan tahun sebelumnya. Penurunan penjualan rokok, antara lain disebabkan kenaikan cukai yang semakin agresif. Di sisi lain, penjualan ritel rokok dan pasa rokok ilegal terus meningkat. Sementara penggunaan rokok elektrik juga naik 10 kali lipat dari 0,3% di tahun 2011 menjadi 3% pada 2021.